not just a story, but it also creating a history

__Love * Life * sad *GLad * tears * Laugh-----

Minggu, 30 Desember 2007

Dan kehidupan itu???!


Judul Buku : Sepotong Cinta di Dalam Hati

Pengarang : Dwinu Panduprakarsa

Penerbit : Gema Insani

Tebal buku : 143 Hal


Dalam hidup, sebagai manusia rasanya manusiawi sekali berharap yang indah-indah dalam hidupnya, merencanakan tentang esok seindah jamuan hari ini. Wajar sekali dirasakan manusia pada umumnya, dengan segenap kemampuan dan segala usaha dengan menyertakan doa di dalamnya.

Hal semacam itu pula tanpa terkecuali terjadi pada kehidupan Dwinu Panduprakarsa, seorang lelaki yang tercatat sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Menjalani awal pernikahannya bercita-cita muluk dengan segudang ide dan rencana masa depan. Penuh harapan pernikahannya langgeng sampai akhir nafas, berharap mempunyai buah hati yang lucu, imut, lincah, cerdas, kuat berprestasi yang kelak mampu meneruskan harapan orang tuanya. Intinya manusia dalam bahagianya berharap langgeng selamanya.

Manusiawi sekali bukan??? setinggi dan seindah harapan manusia itu adalah suatu keharusan, namun yang perlu digaris bawahi bahwa manusia hanya dibekali oleh-Nya segenap usaha dan segala keputusan Allah yang menentukan. Karena Dialah Dzat yang Maha Tahu dari apa yang tidak kita tahu. Dia Maha Tahu apa yang terbaik buat hamba-Nya, sesakit apaun bentuk kehidupan tersebut.

Kehidupan pribadi Dwinu Panduprakarsa berubah drastis dengan hadirnya putri pertama “Redita syifa panduprakarsa” (Tita). Bagaimana????

Dari Titalah ketercintaan terhadap keluarga bermula dan semakin menguatkan. Dari Tita pula kehidupan semakin terasa dan bermakna, empati itu ada, dan cara pandang Dwinu terhadap kehidupan tidak hanya tergeser namun berubah.

Betapa Tita adalah anugerah teristimewa dalam kehidupan Dwinu, lewat keistimewaan Tita, Dwinu mampu memaknai dan menghadirkan rasa syukur yang mendalam sekecil apapun anugerah dari-Nya. Pertemua nya dengan segala macam bentuk kehidupan adalah sajadah persujudan yang penuh syukur dan ketundukan.

Perjumpaannya dengan Dinda yang mungkin buat orang lain biasa-biasa saja, namun bagi Dwinu adalah anugerah yang mengantarkannya menjadi orang tua yang semakin bertanggug jawab terhadap amanah yang diembannya bernama “ANAK”. Dinda terlahir di tengah gemerlap rumah yang mewah lengkap dengan pembantu dan sopir pribadi , namun dia tidak dikaruniai ayah yang baik karena bercerai dengan ibunya, sedang ibunya sendiri disibukkan dengan kegiatan di luar rumah. Pada saat itulah Dwinu berfikir, meskipun anak saya tidak dikarunia harta berkelimpahan, namun kami menyertakan kasih sayang yang teramat dalam membantu Tita menatap masa depannya.

Keistimewaan Tita dalam kehidupan Dwinu bukan karena kelincahannya, kelucuannya, kecakapannya, dan kecerdasannya seperti yang terpancar dari wajah balita pada umumnya. Tapi keistimewaan tersebut justru karena keterbatasan Tita yang didiagnosa menderita autis semenjak dia berumur dua tahun. Sebuah diagnosa yang memukul perasannnya sebagai orang tua.

Pada saat itulah keistimewaan Tita hadir dalam kehidupan Dwinu, dan menjadikan Dwinu harus tegar dalam menyikapinya. “Kalau bukan aku ayah kandungnya sendiri, lalu kepada siapa lagi Tita berdiri menjalani hari-hari menatap masa depan?”. begitulah terus antara logika dan spiritual Dwinu berdialog.

I tulah bagian dari catatan harian Dwinu yang merupakan renungannya mendampingi anak autis. Dalam menulis buku tersebut Dwinu tidak bermaksud mengikuti trend buku-buku tentang sindroma autisme, tapi Dwinu mencoba membuka album kehidupannya dan berbagi pengalaman terhadap sesama menjalani kehidupan dengan segala keistimewaan sang buah hati. Yang jelas hari-hari Dwinu dan istrinya (Peppy Purwandari) membutuhkan keimanan, kesabaran, pengorbanan dan kekuatan yang maha dahsyat yang terlahir atas nama cinta, dan mengemban amanat dari Tuhanya yang bernama “anak”.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari buku ini (tentunya perspektif saya) adalah, sebagai perempuan baiknya menghindari kegiatan atau pikiran-pikiran yang mampu menghadirkan stress dan tekanan psikologis pada waktu hamil karena kondisi tersebut berimplikasi terhadap kesehatan janin yang dikandungnya baik secara fisik maupun mental.

Dan bagi para suami harus mampu menciptakan kondisi yang membahagiakan dan meringankan kepayahan istrinya pada saat hamil, bukan menuntut dengan sesuatu yang tidak sanggup dilakukannya atau menuntunya menjadi manusia yang sempurna.

Buku ini memberikan kesadaran kepada kita betapa banyak anugerah yang belum kita syukuri namun kita tidak pernah berhenti berharap pada Tuhan, padahal banyak sekali perintah-Nya yang belum kita tunaikan .

Selamat membaca dan temukan hikmahnya

Terakhir penulis berpesan kepada anaknya dalam pengantar

‘Selamilah kedalaman cinta sang ayah dalam tulisan yang tidak hanya menggugah kalbu, tetapi juga menyadarkan kita akan makna mensyukuri karunia-Nya”

----Rien Zumaroh

Ciputat, 25 des’07-------

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda